Abang, Jangan Menyerah

Insiden hidung Mara mimisan lagi rupanya membuat huru-hara antara Juna dan Harsa. Mara yang sudah hampir pingsan, malah disuguhi keributan Harsa dan Juna ketika dokter memeriksa. Juna yang sibuk menyalahkan Harsa karena cara bicaranya yang tidak sopan, sedangkan Harsa yang ikut kesal karena sedang panik.

Januar menengahi, keduanya itu harus dihentikan, sebelum membuat Mara benar-benar tidak sadarkan diri. Januar memberi jarak antara Juna dan Harsa, dengan memisahkan Juna di pojok ruangan dekat jendela, sedangkan Harsa di dekat pintu sambil bersandar tembok.

Nasal kanula yang kemarin dilepas, kini disarankan untuk kembali digunakan. Tenaga Mara juga rupanya sudah habis, dipakai terjaga sepanjang malam sejak kemarin. Namun, pemuda itu masih betah memandangi Juna dan Harsa bergantian, dengan wajah keduanya yang tidak enak.

Ditambah lagi dengan Aji, Ale, Jenan, dan Vano yang juga buru-buru sekali masuk ke ruang rawat. Ketika Juna meminta mereka berkumpul disana.

Mara mengulum senyum, di kala dirinya sudah begitu lemas, “Berantem mulu sih ....”

Januar sebenarnya baru saja dikejutkan dengan fakta baru, tentang penyakit yang diidap Mara. Januar menatap sendu pada Mara, “Kamu nggak pernah bilang sama ayah, soal—”

“Nggak papa, ayah. Mara nggak papa. Mara ini masih mampu bernafas sampai sekarang, masih bisa mendengar ayah ada di sisi Mara.”

Januar menarik Aji untuk dipangkunya, sekalian menggenggam jemari Mara, “Maafin ayah, nggak ngerti perasaan kalian selama ini. Maafin ayah yang maksain kalian, ayah yang salah.”

Mara tersenyum manis, kemudian melirik Aji, “Tapi anak ayah yang terakhir itu, benar-benar jago di bidang keinginan ayah.”

Januar menatap lembut ke arah Aji, sembari mengulum senyum, “Iya, Ji? Pelajaran apa yang kamu suka?”

Aji meletakkan telunjuk di dagu, seperti tengah berpikir keras, “Pelajaran kosong.”

Januar tertawa, jemarinya malah menggelitik perut Aji hingga anak itu tergelak keras. Aji meminta ampun, dan barulah Januar berhenti, “Jadi apa?”

“Ayah tidak tau nilai matematika Aji seratus terus? Ayah tidak tau kemarin Aji seleksi olimpiade?”

Senyum Januar memudar, “Maafin ayah ....”

Mara yang hanya bisa mendengarkan itu akhirnya mulai bersuara lagi, “Nggak, ayah. Kehadiran ayah disini sudah membuat semuanya bahagia. Jangan pernah sakitin adik-adik Mara lagi ya, yah?”

Januar menggenggam tangan Mara, “Maafin ayah juga yang buat kamu jauh dari adik-adikmu. Bukan cuman adik-adikmu, tapi kamu juga nggak boleh sakit, bang.”

Mara mengangguk pelan, “Mara nggak akan sakit, kalau adik-adik ataupun ayah butuhin Mara. Mara bisa ngelakuin segalanya, buat kalian, bunda juga.”

Januar menunduk, sambil menarik nafasnya berat. Ada banyak rahasia yang belum anak-anaknya tau tentang bagaimana sebenarnya ia bisa berpisah dengan sang Istri, Raline. Januar masih menatap betapa pucat wajah Mara malam ini, sekalipun Januar tau mungkin Mara kesakitan, anak itu bahkan tidak menunjukkan apapun.

Januar menatap setiap wajah sendu anak-anaknya, kecuali Harsa dan Juna yang masih saja ada raut sepat. Januar menghela nafasnya panjang, “Raline sudah lama tau perusahaan ayah hampir bangkrut, semenjak itu dia juga sudah lama selingkuh dengan laki-laki lain.”

Vano mengernyit, “Bunda ... pergi bukan karena Bang Mara lebih nurut sama ayah?”

Januar mengernyit bingung, “Kamu dapet gosip darimana?”

Sementara Juna yang tengah duduk di samping Vano, sontak menggeplak kepala anak itu, “Makanya jadi anak jangan sok tau, bahlul!”

Vano mendesis kesal menatap Juna, “Sakit, aish!”

Kernyitan di dahi Januar masih terlampau nyata, “Juna tau?”

Juna menatap Januar, wajahnya terlihat biasa saja tapi terlihat ingin mengungkap. Juna membuka mulutnya sedikit untuk mempersiapkan kata, “Juna dengar semua yang diributin ayah sama bunda malam itu, Juna juga tau Pak Tian yang kini menjadi kekasih baru bunda.”

Vano, Harsa, Aji, dan Ale tidak kalah terkejut dengan pemaparan Juna. Si Anak kedua itu menatap ke arah sang Ayah, “Bunda juga ketemu Juna sama Bang Mara waktu itu. Bunda yang rupanya begitu kejam ninggalin kita, bahkan bunda mau nampar Juna, meskipun yang kena tetap Bang Mara. Juna nggak tau kenapa keluarga kita udah kacau begini ....”

Mendengar kata kejam keluar dari mulut adiknya, Mara memaksakan daksanya untuk duduk tegak, hendak menghampiri Juna. Mengerti kesulitan Mara, Juna langsung berdiri mendekat, sedangkan matanya menatap nyalang pada sang Kakak. Juna itu kesal setiap Mara sok kuat, padahal Mara yang paling banyak menyimpan luka.

Mara tersenyum manis, “Keluarga kita masih indah banget, Jun. Udah, ya? Ayah mau kan perbaikin semuanya?”

Januar mengangguk, “Mau, bang. Jangan menyerah, ya?”

Nafas Mara sedikit berat, pandangannya mulai mengabur lagi. Semuanya memang sudah terlihat indah, namun dirinya malah begitu sulit menikmati setiap keindahan itu. Mara memejam perlahan, sakit di kepalanya tiba-tiba menghantam begitu kuat. Genggaman Mara pada Januar malah semakin mengendur, “Jangan lupa bahagia ya, ayah ...,” bisik Mara.

Juna mengernyit, sembari menggelengkan kepalanya tidak rela. Bunyi tidak karuan dari mesin elektrokardiograf mengganggunya, Juna ingin membentak, namun hatinya terlanjur kalut. “Abang!”

Harsa dan Vano inisiatif berlari keluar, tanpa perintah siapapun.

Januar mengelus-elus surai Mara, kala manik sang Empu telah memejam erat. Januar terus memanggil nama Mara, berharap agar si Sulung tidak pergi kemanapun. “Mara ... dengerin ayah, bukannya masih banyak cita-cita kamu yang belum tercapai? Ada ayah sekarang, bang. Ayah yang akan kembali menuntun kalian, kamu nggak akan berjuang sendiri lagi. Mara ... ayah rasa belum saatnya ....”

Manik Juna meneteskan air mata, memandang mesin pendeteksi jantungnya sudah hampir kehilangan detak jantung sang Kakak. Juna menggenggam kuat tangan lain milik Mara, “Abang ... gue sayang banget sama lo, dan lo pasti tau siapa aja yang bakal gue marahin kalo lo seenaknya ninggalin gue!”