Kabar Bahagia
Sang Bulan sudah bersinar begitu terang, memang sedikit berbeda, karena biasanya setiap malam akan turun hujan di akhir tahun. Malam ini, begitu cerah, bersamaan dengan hati Januar yang juga berangsur membaik. Paniknya akan si Sulung sedikit lebih mereda, karena dokter mengatakan Mara sudah sadar.
Juna juga langsung kembali ke rumah sakit, setelah membuat konten bersama Jenan. Secepat mungkin, Juna berlari menuju ICU tempat Mara dirawat, disana pula Juna menemukan sang Ayah di depan pintu. Juna masih berusaha mengerti akan tatapan Januar.
“Ayah ... Bang Mara ...?”
Januar mengangguk, sembari mendekap tubuh Juna erat, “Udah ... udah, nggak papa. Abangmu sudah sadar, kamu tenang, ya?”
Tubuh Juna merosot lemas, ini kabar baik, membuatnya lega. Juna menghela nafasnya panjang, kemudian menatap ranjang pasien Mara yang tengah dikeluarkan dari ruang ICU. Juna menatapnya sendu, tangisnya pecah.
Ayahnya kembali mendekap tubuh mungil Juna, “Mereka akan memindahkan abang ke kamar rawat biasa, setelahnya kita akan lakukan kemoterapi.”
Juna mengangguk ribut dalam pelukan sang Ayah, tangisnya masih tidak mampu terbendung. Jenan hanya memandang ayah dan kakaknya sendu, senyuman kecil terbit di wajahnya. Tidak menyangka jika, keluarganya ini rupanya mampu terakit ulang dengan lebih baik lagi.
Vano dan Harsa baru datang, berlarian menuju Jenan. Vano mengernyit melihat Juna menangis tersedu dalam pelukan sang Ayah, “Mas Juna kenapa?”
Jenan menyeka air matanya yang sedikit terbendung di sisi matanya, “Bang Mara udah sadar, kata ayah mau kemoterapi.”
“Allah itu emang ajaib banget ya, Nan?” ucap Vano sambil tersenyum sendu.
Jenan mengangguk antusias, “Hebat banget ya, No. Besok gue mau berdoa lagi, biar Bang Mara sembuh.”
Vano menyikut Jenan dengan senyuman manisnya, “Semoga membaik ya, Nan.”
“Harus, No. Harus membaik semuanya, termasuk Bang Mara.”