Kesayangan Abang

Suasana ricuh di rumah sakit ketika Mara pertama kali dilarikan sudah berlalu. Ketika dokter telah mengizinkan memindahkan Mara dari ICU, Juna meminta kamar rawat ternyaman untuk Mara, memang tidak bisa ditutupi dengan kartu jaminan sosial, tapi Juna yakin uangnya cukup untuk membiayai perawatan Mara. Uang bisa dicari, tapi Mara tidak ada lagi di dunia.

Juna menatap sendu pada Ale dan Aji yang telah tertidur di sofa rumah sakit. Kepala keduanya menyatu bagai saling menopang satu sama lain. Kemudian, maniknya kembali teralih pada Mara yang masih terpejam erat. Kepala Mara dibalut perban, bekas luka vas bunga yang lumayan menganga lebar tadi.

Suara pintu terbuka dan langkah yang tidak beraturan, dari belakang Juna, membuat pemuda itu tidak memperhatikan jika kedua manik Mara telah membuka perlahan. Juna mendengus kesal, melihat Harsa dan Vano datang tergesa-gesa, “Lo berdua tuh ngapain sih?”

Harsa malah tertegun, sembari menunjuk ke arah Mara. Juna langsung emosi melihat Harsa tidak jelas, tiba-tiba menunjuk, “Lo kenapa sih?”

Vano menepuk keras bahu Juna, “Bang Mara sadar, mas!”

Juna baru menoleh, sedangkan Vano menangkap tombol merah, langsung menekannya untuk memanggil dokter. Juna semakin mendekat ke wajah Mara, menatap lekat kepada wajah pucat kakaknya. Manik Juna tiba-tiba menitikkan air mata, “Abang ....”

Selang beberapa menit, alat pernafasan Mara juga telah diganti. Dokter mengatakan, kondisi Mara sudah membaik, masalahnya masih ada pada leukimia. Mara menatap Juna, sambil tersenyum, “Lo nggak papa ...?”

Juna mengangkat gelas yang ada di nakas, mukanya benar-benar sebal pada orang yang ada di hadapannya ini. Juna berdecak kesal, sembari mengembalikan gelasnya, “Aduh ... lo tuh kenapa kagak pinter-pinter sih? Lo nggak ngerasa pala lo dililit-lilit udah kayak pocong?”

Mara terkekeh pelan, “Yaudah kalo lo nggak papa, Jun.”

Harsa mencolek lengan Mara perlahan, “Abang ....”

“Hm?”

Harsa menunduk sambil memilin bajunya, “Maafin Harsa ....”

Mara mengernyit, “Lo salah apa?”

Harsa mendongak, dirinya menunduk sebab maniknya sudah mengeluarkan air mata rupanya, “Abang ....”

Mara mengusak lembut kepala Harsa, “Nanti abang cariin handphone yang lain ya?”

Harsa menggeleng ribut, kepalanya ditelungkup ke ranjang pesakitan Mara, “Nggak usah! Nanti Harsa pake yang itu aja ... abang nggak usah ganti! Harsa mau pake handphone yang itu aja!”

Mara tertawa dalam suasana sendu begini, “Maafin abang, kalau nggak bisa menuhin setiap kebutuhan kalian.”

Juna menghela nafasnya panjang, “Mulai sekarang, lo nggak usah maksain diri lagi ya, bang? Gue bisa menuhin kebutuhan adik-adik kok, bang.”

Mara mengernyit, kemudian menggeleng pelan, “Kalo kerjaan lo nanti dituntut buat menuhin kebutuhan, lo bakal kebebani, udah biasa aja, ya? Lo kerja sesuai yang lo mau, nggak harus dipaksain.”

Juna berdecak lagi, “Tapi itu yang selama ini lo lakuin!”

“Karena kalian emang tanggung jawab gue.”