Kuat Buat Abang

Selang beberapa jam setelah Mara dikembaikan ke ruang rawat biasa. Kini, dokter telah bersiap untuk melakukan prosedur kemoterapi, Mara mengernyit memandang dokter itu embawa banyak sekali alat. Mara menangkap jemari sang ayah yang terletak di dekatnya.

“Ayah ....”

Januar mendesis, kemudian mengelus surai hitam pekat si Sulung, berusaha menenangkan Mara, “Tenang ya, bang. Kita lagi berusaha untuk berikan yang terbaik buat kamu. Kalau memang sakit, kamu bisa genggam tangan ayah, ya, bang?”

Mara malah menggeleng kuat, “Mara nggak mau, ayah ....”

Dokter yang masih diam, malah diisyaratkan untuk langsung melakukan terapi yang dimaksud. Jemari Mara langsung digenggam kuat oleh sang ayah, berusaha menenangkan anaknya. Namun, orang tua mana yang membiarkan anaknya kesakitan tanpa melakukan apapun.

Januar masih ingin Mara bahagia bersamanya, Mara bisa kembali membimbing adik-adiknya untuk menjadi sekuat dirinya. Sayangnya, bahkan Mara tidak ingin berusaha lebih untuk takdirnya sendiri.

Ketika cairan obat sudah mulai masuk ke aliran darahnnya, manik Mara langsung memejam kuat. Ada ribuan rasa sakit yang menyerang Mara, pemuda itu mengerang kesakitan. Buku-buku jarinya memutih, ketika dibuat meremat sprei ranjangnya.

Dari sisi ruanngan, Juna memilih beranjak dari tempatnya. Juna tidak lagi mampu memandang betapa menderitanya si abang. Langkahnya dipercepat untuk keluar ruangan, tungkainya melemas, hingga bahunya bersandar sepenuhnya pada dinding.

Juna masih berusaha menahan isakkan, berharap dirinya bisa lebih kuat dari sang kakak. Namun, Juna bukanlah Mara, Juna tetap seorang pemuda yang begitu lemah. Juna tidak bisa menjadi seperti kakaknya, karena sesungguhnya Juna tahu betapa banyaknya beban yang ditopang Mara.

Pemuda itu menelungkupkan kepalanya dalam lipatan tangannya, “Maafin gue, bang ....”

Ada langkah perlahan yang terdengar oleh Juna, berasal dari kamar rawat kakaknya. Harsa yang datang, sembari berlutut di hadapan Juna. Harsa merangkul Juna, memberikan sedikit kekuatan untuk seseorang yang lebih tua darinya ini.

Harsa mengelus pelan bahu Juna, “Seenggaknya, kita harus semangatin abang, mas. Abang aja bisa sekuat ini, sampai detik ini, maka kita jangan sedih di hadapannya, ya, mas.”