Membela Mara di depan Ayah

Sudah berpuluh jam Mara habiskan untuk berada di ruang rawat yang dibiayai Juna ini, sedangkan Juna bahkan tidak pernah terlihat bekerja. Kenyataannya, Juna memang begitu kerjanya, santai tapi penghasilannya sudah sama dengan sekali biaya kemoterapi, walaupun belum pernah digunakan kemoterapi.

Suara Juna memang belum bisa menandingi diva-diva Indonesia yang spektakuler, karena jarang dilatih pula. Namun, warna suara Juna termasuk yang menjual, dengan tampangnya yang menarik. Maka, tidak heran jika setiap konten menyanyi Juna disukai kaum hawa, maupun adam.

Mara melihat Juna yang masih tidur di sofa dengan gaya mangap. Sedangkan, Ale dan Aji malah asik main bareng game online di kantin rumah sakit, sekalian mencari makan malam katanya. Mereka sedang libur sekolah, sebab ini adalah akhir semester pertama.

Mara tersenyum manis setiap adiknya masih bisa berbahagia hingga saat ini, ditambah Jenan yang juga masih senang memotret. Hasil karya Jenan yang diposting di media sosial juga tidak kalah dengan konten menyanyi Juna. Hanya saja, Mara mengatakan untuk menyimpan uang hasil kerja Jenan untuknya sendiri.

Tidak lama setelahnya, pintu ruang rawatnya tiba-tiba terbuka. Mara terdiam sejenak, menyadari yang datang adalah ayahnya sendiri. Senyuman Mara terbit begitu tulusnya, menyambut betapa berharganya pria itu dalam hidupnya.

“Ayah ... sehat kan? Mara takut lama tidak berinteraksi, Mara tidak tau kabar ayah.”

Januar mengulum senyumnya, anak pertamanya ini sangat manis rupanya, “Harusnya ayah yang tanya begitu, maaf ayah sampai membuat kepalamu diperban kayak gitu.”

Mara tertawa geli, “Biasa aja, Mara kan strong!”

Belum sempat Januar kembali membalas, ruang rawat dikunjungi seseorang lagi. Orang itu langsung saja membulatkan maniknya terkejut dengan kehadiran Januar di samping Mara. Bocah itu teriak tidak karuan, hingga mengejutkan Juna yang tengah tertidur, “Ayah mau ngapain?”

Juna yang masih setengah sadar, langsung berdiri dan menghalangi pandangan Januar untuk Mara, “Ayah mau ngapain? Ayah belum puas!”

Mara menarik bahu Juna, sampai infusnya tertarik lagi, darah Mara sedikit naik. Mara itu memang kalau reflek berlebihan, “Juna! Ayah cuman mau jelasin semuanya, lo jangan gegabah gini dong!”

Harsa yang tadi baru datang, langsung menatap bergantian ke arah Juna, Mara, dan sang Ayah. Harsa mengernyit, “Terus mau ngapain? Belum cukup ayah membandingkan kita semua! Anak-anak ayah nggak ada yang sempurna!”

Januar menghela nafasnya panjang, “Justru itu ... ayah mau minta maaf, atas semuanya. Maafin ayah, ya Harsa?”

Harsa terdiam. Benar-benar kehabisan kata untuk disuarakan. Harsa sudah lama merindukan ayahnya yang mampu bicara selembut ini, Harsa sungguh merindukan ayahnya yang dulu. Harsa ingin mendekap tubuh tegap itu, namun hatinya masih terlampau ragu.

Harsa menatap ke arah lain, hingga tak sengaja malah menangkap infus Mara, “Abang! Infusnya nyampur sama darah!”

Mara dan Juna langsung menoleh bersamaan. Hingga keduanya kembali dikejutkan dengan adanya aliran darah dari hidung Mara, “Astaghfirullah, abang! Itu hidungnya!” teriak Juna.

“Ayah! Ayah! Panggil dokter!” perintah Harsa, tidak tau diri.

“Harsa bego! Itu bapak lo!” gertak Juna.

Januar yang sudah sampai pintu, kembali lagi ketika Harsa menahan. Harsa menarik Januar kembali ke dekat Mara, “Ayah disini aja, Harsa aja. Astaghfirullah ... durhaka banget diriku ini.”