rainaaramintha

Sia-sia, Namun Berharga

Kesulitan, bahkan kaki ini sampai terseok-seok. Bukan salah Ayara yang tidak mampu mengungkap, tapi memang lelaki itu terlanjur begitu dingin dan tak bisa menjadi pendengar. Mungkin, memang Ayara juga salah kala menunggu seseorang yang tidak pasti.

“Lo masih mau terus nunggu?” tanya Zainal, tangannya menggenggam kuat sebuah payung, yang terbuka lebar untuk Ayara.

Ayara terisak, “Terus mau bagaimana lagi? Bahkan, aku sudah sampai disini, dan yang dipilihnya adalah perempuan lain. Lalu kenapa dia harus meminta tolong, kalau akhirnya harus begitu buruk begini. Nal, gue bahkan nggak sanggup melangkah kemana pun.”

“Aya! Aris nggak sama sekali lihat lo! Lo juga salah kenapa mesti berharap dengan laki-laki yang jelas nggak bisa sama lo!”

Ayara berbalik, menatap Zainal dengan sengit. Perempuan itu sempat terkejut sebenarnya, sebab Zainal malah tidak memayungi dirinya sendiri, memilih melindungi Ayara. Namun, Ayara sudah terlanjur kesal, “Tapi dia sendiri yang minta gue kesini!”

Zainal menggenggam kuat sebelah bahu Ayara, tubuhnya maju selangkah mendekat, “Terus lo mau sampai kapan disini? Aris nggak akan pernah peduli sama lo, Ay! Lo juga harusnya sadar! Oke, kita emang udah jauh-jauh dari Jakarta ke Magelang, hanya karena email nggak jelas dari Aris. Sekarang lo lihat? Yang dia bawa untuk kelulusan adalah cewek lain!”

Ayara meremat tangannya begitu kuat, “Jadi ... lo daritadi keberatan nemenin gue sampai sejauh ini? Lagian gue nggak pernah minta, Nal. Lo yang maksa!”

Sedangkan, laki-laki di hadapannya mengusap wajahnya yang sudah basah kuyup kasar, “Ay ... nggak kayak gitu, gue tau lo pinter .... Tapi jangan bego soal cowok gini! Cukup si Aris aja yang bego lo-nya jangan ....” Zainal menarik nafasnya yang dirasakan agak berat, “Udah ya, Ay. Gue capek banget ....”

Entah sudah dari kapan, namun Ayara baru menangkap betapa pucat wajah laki-laki di depannya itu. Kemarahan gadis itu masih tersisa, apalagi pada Zainal yang tidak jelas ini. Zainal mengatakan akan menemani Ayara, tetapi ketika sudah begini malah lelaki itu yang marah-marah.

Ayara malah memaksa menunggu di lapangan tempat kelulusan Aris, bahkan ketika sudah hujan deras begini, Ayara masih tetap berdiri tegak. Meski pada kenyataannya, Aris sudah lupa soal permintaannya, untuk menemaninya pada kelulusan di sebuah sekolah perwira. Ayara sudah datang, namun perempuan lain lebih dulu berada di samping Aris.

Perempuan itu menunduk padam, kemudian tak sengaja memandang tas kecil yang dia bawa kemari. Ayara mengingat sesuatu yang menyebabkan dirinya repot sampai membawa tas kecil segala, bukan hal yang penting untuknya, tapi penting untuk lelaki di hadapannya.

“Nal ....” Ayara melirih, pandangannya masih menunduk.

Zainal tidak merespon.

“Zainal ... lo belom minum obat.”

Ayara segera mendongak menatap teman lelakinya itu. Betapa terkejutnya ia, memandang Zainal yang tengah sibuk dengan hidungnya. Zainal mimisan, sedangkan lelaki itu sudah kewalahan kala darahnya tidak mau berhenti. Ayara segera mengambil alih payung yang dibawa Zainal, menuntun Zainal meneduh di pinggir lapangan.

“Nal ... Nal, lo nggak papa?” Ayara mengambil beberapa lembar tisu, untuk membantu Zainal menghapus darahnya.

Tubuh Zainal melemas, lelaki itu bersandar merebah bersandar di dinding tempat berteduh. Tangis Ayara malah semakin pecah, “Maafin gue ..., kepala lo sakit, ya?”

Kedua manik Zainal sudah meredup, begitu sayu dan berbayang untuk sekadar melihat ke depan. Cowok dua puluh tahun itu menarik nafasnya panjang, “Udah ... nggak papa, Ay. Gue nggak papa.”

Ayara menggenggam jemari temannya, “Tetep aja, gue minta maaf! Tunggu, jangan tidur ya, Nal. Gue telepon ambulans.”


Sejak sepuluh tahun yang lalu, Ayara dan Zainal ini sama sekali tidak pernah memiliki hubungan spesial. Keduanya memang dekat sebagai sepasang teman, namun mereka punya jalannya sendiri-sendiri. Ayara dengan dunianya di kimia, dan Zainal dengan dunianya di arsitektur. Usia yang terpaut setahun, juga tidak menyulitkan keduanya untuk akrab.

Orang tua Ayara menitipkan anak gadisnya pada Zainal ketika perjalanan menuju Magelang. Salah memang, karena itu menjadikan patah hati terbesar untuk Zainal, menghantarkan Ayara pada laki-laki yang dicintainya. Sayangnya, Ayara salah. Aris, laki-laki itu bahkan lebih menyukai wanita lain, ketimbang dirinya yang bukan siapa-siapa.

Malam sudah semakin larut, namun Zainal seakan belum mau membuka maniknya. Ayara masih disana menggenggam erat jemari Zainal, sejak keduanya mendapatkan kamar rawat. Ayara tersenyum sendu, rasanya dirinya ingin mengakui kebodohannya pada Zainal untuk hari ini.

“Ay ...,” lirih Zainal.

Ayara menatap lekat manik Zainal yang baru membuka, “Nal ....”

Zainal terkekeh pelan, “Aduh ... gue lemah baget ya? Hujan-hujanan dikit aja, udah tumbang gini.”

Ayara berdecak, “Lo yang bego, lo nemenin gue sampe kayak gini ....”

Zainal tersenyum manis, “Biarin deh gue bego, asalkan bisa nemenin lo, Ay. Sebelum gue udah nggak bisa lagi.”

“Emangnya gue sespesial itu buat lo? Kita kan cuman temen, Nal. Hari ini lo malah nemenin gue nyamperin si brengsek Aris.”

Senyuman Zainal masih begitu dalam untuk Ayara, “Karena gue punya tanggung jawab buat jagain lo, Ay. Papa gue bilang, gue adalah satu-satunya laki-laki yang harus nikahin lo.”

“Nal ..., tapi baru aja lo—”

“Iya, baru aja gue nemenin lo untuk cowok lain. Meskipun ternyata gagal. Ay, gue sakit, gue nggak bakal bisa bahagiain lo. Jadi, gue milih nyerah buat milikin lo. Gue ngelakuin semua yang lo mau, sebelum gue nggak lagi sempat.”

Air mata Ayara menitik perlahan, “Zainal ... gue minta maaf.”

Zainal masih tersenyum manis sekali, “Lo nggak salah, udah ya nangisnya? Nanti cantiknya luntur, Ay ....”

“Nal ... nggak gitu.”

“Gue sayang sama lo, Ay .... Sayang banget, sampe bego

Ayara tertawa, dengan sisa air matanya, “Maafin gue dulu, Zainal. Nanti baru gue terima pernyataan cinta lo.”

“Kan lo nggak salah, Ay.” Zainal masih betah dengan senyuman manis di bibir pucatnya itu.

Chapter 1 – Unknown

Dalam hidup, asa harus digapai bahkan sampai hembus napas terakhir. Meski nanti, rupanya Tuhan tidak mau melancarkan gapaian asanya. Namun, orang bilang meski itu buruk, itu adalah yang terbaik untuk kita. Pada kenyataanya, hati itu tidak mudah merelakan, semuanya butuh proses.

Ketika pertama kali Dibya mendengar bahwa sang kakak harus pergi. Sungguh, tidak ada sedikitpun rasa rela dalam relungnya, kala akhirnya harus melepas sang kakak. Arya adalah seorang abdi negara, dan sudah semestinya ia melakukan hal terhormat ini.

“Bagaimana kalau, kamu ikut Abang? Kamu nggak bakal aman disini, Dek. Meski ribuan kali, kamu nggak akan bisa balikkin Ayah yang dulu.” Malam itu, Arya sudah mewanti. Namun, Dibya tetap kukuh pada pendirian.

Remaja empat belas tahun itu memiliki alasan yang logis untuk memilih perpisahan. Biayanya akan lebih mahal jika dirinya egois, tidak bisa dipungkiri pula, jika nanti dirinya malah menyusahkan pekerjaan sang kakak.

Dengan mantap, Dibya menggeleng perlahan. Selalu ditambah senyuman manis di bibirnya, “Abang cuman perlu sampai disana dengan selamat. Dibya mau nunggu Abang aja, disini ....”

Selama lebih dari sembilan tahun, Dibya dan Arya berjuang dengan kedua kaki mereka sendiri. Kepergian sang ibu yang menjadi penyebab ayah mereka lepas dari tanggung jawab. Revano, bukan lagi sosok laki-laki yang diidolakan Arya seperti dulu. Revan sudah menjelma menjadi laki-laki kejam tak berperasaan.

Sang adik tersenyum sendu, “Semuanya akan baik-baik aja, bang. Termasuk Dibya sama Ayah.”

Laki-laki yang lebih tua di hadapannya itu, mengelus pelan rambut pekat adiknya, “Kalau begitu, sampai bertemu lagi nanti ya, Dek? Janji sama Abang kamu akan baik-baik aja, ya?”

Dibya mengangguk semangat, “Janji!”


PUSPA AYU KUMARA WARDHANI REVANO SATRIA PUTRA ARYA BIMA PAMUNGKAS DIBYA LUTHFI PAMUNGKAS

Rasa Bersalah

Januar tidak pernah menyangka, jika malam itu menjadi malam yang paling menegangkan untuknya dan anak-anak. Dengan sendunya, Januar menatap ke arah Mara yang tengah ditangani beberapa tim medis. Dokter mengatakan kondisi Mara menurun drastis, karena stress.

Sementara itu, Juna mengusap wajahnya kasar, dirinya hancur malam ini. Padahal tadi, Juna hanya berniat kembali membuat konten. Tetapi sayang, listrik rumah sakit malah mati karena tersambar petir. Tubuh Juna merosot lemas, bersandar pada dinding belakangnya.

Tidak hanya Juna, Harsa juga kusut malam ini. Lelaki itu baru datang lima menit yang lalu, kemudian duduk di samping Juna. Menatap dinding kosong di hadapan keduanya. Sama bersalahnya dengan sang ayah dan Juna, tentu saja.

“Lo tadi kemana?” tanya Juna, tatapan kosongnya berubah begitu tajam.

Harsa menarik napasnya berat, “Gue ... kerja kelompok.”

Juna berdecih tidak suka, “Kerja kelompok apa party? Gue lihat status sosial media temen lo. Enak-enakkan, sedangkan lo nggak mikir disini Bang Mara lagi susah? Lo mikir, Harsa!”

“Ya gue juga butuh hiburan, bang! Nggak melulu kita harus nemenin abang, gue juga mau mikirin diri gue sendiri. Lagian kenapa malah nyalahin gue?” balas Harsa, nadanya meninggi.

Juna berbalik menatap adiknya nyalang, “Ya lo salah, Harsa! Di saat semua orang sibuk, lo yang lagi santai harusnya bisa jagain abang! Gue 'kan kerja, Jenan sama adek-adek laper, ayah tadi lagi ke resepsionis, Vano ke rumah sebentar. Bisa-bisanya lo izin kerja kelompok, tapi malah party sama cewek lo!”

Suara keributan Juna dan Harsa mulai menginterupsi telinganya, dan seluruh koridor ruangan, “Jun ... ini rumah sakit, kalian ributin apa?”

Juna menjengah tidak suka, hatinya suda diselimuti emosi, “Tanya aja sama anak ayah yang ini, nggak pernah bisa ngerhargai orang lain, egois terus.”

Alih-alih langsung marah, Januar malah menghela nafas panjang seraya berdiri di depan Harsa, “Yaudahlah, kita nggak bisa marah-marah Jun, Sa. Bang Mara di dalam lagi berjuang, kita semua salah, nggak bisa nyalahin masing-masing.”

Juna menggertak giginya, “Tapi nggak juga malah seneng-seneng, ayah bisa minta tolong Harsa tadi, kalo dia nggak milih party.”

Januar tersenyum kecil, rupanya sifat penyabar Mara itu menurun dari sang ayah. Hanya saja, beberapa waktu lalu, sang ayah sedang kehilangan kewarasan. Januar menetup bahu kurus Juna, “Sabar, Jun. Nggak selamanya harus pake emosi. Harsa juga tau dia salah.”

Tidak lama kemudian, seorang dokter keluar. Membuat pembicaraan Januar, Juna, dan Harsa terhenti. Jenan ikut mendekat, setelah daritadi hanya diam sembari mengabari Vano yang masih di perjalanan.

“Pak, leukemia yang diderita Mara sudah menyerang paru-parunya. Kami sudah terlambat menangani sejak awal, darah putih yang berkembang dengan cepat, membuat pernapasan dan organ hati Mara ikut terganggu, pak.” Dokter itu menghela nafasnya panjang.

Jantung laki-laki paruh baya itu sudah berdegup tidak beraturan, “Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya.”

Dokter mengangguk, “Kita akan mencoba melakukan radioterapi.”

Juna berjalan maju, “Dokter, kalau pendonoran sumsum tulang? Masih bisa dilakukan? Mungkin salah satu dari kami, bisa mendonorkan.”

Mimik dokter itu tidak berubah, kemudian menggeleng perlahan. Sudah terlambat rupanya, “Tadinya, kalau belum separah ini komplikasinya, saya mau menyarakan. Sayangnya, ini jadinya udah susah banget, mas.”

Harapan Juna sia-sia, dikubur dalam kesakitan mendalam. Tubuh Juna berbalik, tangannya memukul dinding rumah sakit. Tenaganya terkuras habis, sibuk marah pada dirinya sendiri, Harsa, dan takdir. Juna kembali terduduk lemas di lantai rumah sakit.

“Ini ... bukan berarti gue siap-siap ngelepas lo kan?” Tatapan Juna kembali kosong, menghitam diselimuti rasa takut kehilangan.

Kuat Buat Abang

Selang beberapa jam setelah Mara dikembaikan ke ruang rawat biasa. Kini, dokter telah bersiap untuk melakukan prosedur kemoterapi, Mara mengernyit memandang dokter itu embawa banyak sekali alat. Mara menangkap jemari sang ayah yang terletak di dekatnya.

“Ayah ....”

Januar mendesis, kemudian mengelus surai hitam pekat si Sulung, berusaha menenangkan Mara, “Tenang ya, bang. Kita lagi berusaha untuk berikan yang terbaik buat kamu. Kalau memang sakit, kamu bisa genggam tangan ayah, ya, bang?”

Mara malah menggeleng kuat, “Mara nggak mau, ayah ....”

Dokter yang masih diam, malah diisyaratkan untuk langsung melakukan terapi yang dimaksud. Jemari Mara langsung digenggam kuat oleh sang ayah, berusaha menenangkan anaknya. Namun, orang tua mana yang membiarkan anaknya kesakitan tanpa melakukan apapun.

Januar masih ingin Mara bahagia bersamanya, Mara bisa kembali membimbing adik-adiknya untuk menjadi sekuat dirinya. Sayangnya, bahkan Mara tidak ingin berusaha lebih untuk takdirnya sendiri.

Ketika cairan obat sudah mulai masuk ke aliran darahnnya, manik Mara langsung memejam kuat. Ada ribuan rasa sakit yang menyerang Mara, pemuda itu mengerang kesakitan. Buku-buku jarinya memutih, ketika dibuat meremat sprei ranjangnya.

Dari sisi ruanngan, Juna memilih beranjak dari tempatnya. Juna tidak lagi mampu memandang betapa menderitanya si abang. Langkahnya dipercepat untuk keluar ruangan, tungkainya melemas, hingga bahunya bersandar sepenuhnya pada dinding.

Juna masih berusaha menahan isakkan, berharap dirinya bisa lebih kuat dari sang kakak. Namun, Juna bukanlah Mara, Juna tetap seorang pemuda yang begitu lemah. Juna tidak bisa menjadi seperti kakaknya, karena sesungguhnya Juna tahu betapa banyaknya beban yang ditopang Mara.

Pemuda itu menelungkupkan kepalanya dalam lipatan tangannya, “Maafin gue, bang ....”

Ada langkah perlahan yang terdengar oleh Juna, berasal dari kamar rawat kakaknya. Harsa yang datang, sembari berlutut di hadapan Juna. Harsa merangkul Juna, memberikan sedikit kekuatan untuk seseorang yang lebih tua darinya ini.

Harsa mengelus pelan bahu Juna, “Seenggaknya, kita harus semangatin abang, mas. Abang aja bisa sekuat ini, sampai detik ini, maka kita jangan sedih di hadapannya, ya, mas.”

Kabar Bahagia

Sang Bulan sudah bersinar begitu terang, memang sedikit berbeda, karena biasanya setiap malam akan turun hujan di akhir tahun. Malam ini, begitu cerah, bersamaan dengan hati Januar yang juga berangsur membaik. Paniknya akan si Sulung sedikit lebih mereda, karena dokter mengatakan Mara sudah sadar.

Juna juga langsung kembali ke rumah sakit, setelah membuat konten bersama Jenan. Secepat mungkin, Juna berlari menuju ICU tempat Mara dirawat, disana pula Juna menemukan sang Ayah di depan pintu. Juna masih berusaha mengerti akan tatapan Januar.

“Ayah ... Bang Mara ...?”

Januar mengangguk, sembari mendekap tubuh Juna erat, “Udah ... udah, nggak papa. Abangmu sudah sadar, kamu tenang, ya?”

Tubuh Juna merosot lemas, ini kabar baik, membuatnya lega. Juna menghela nafasnya panjang, kemudian menatap ranjang pasien Mara yang tengah dikeluarkan dari ruang ICU. Juna menatapnya sendu, tangisnya pecah.

Ayahnya kembali mendekap tubuh mungil Juna, “Mereka akan memindahkan abang ke kamar rawat biasa, setelahnya kita akan lakukan kemoterapi.”

Juna mengangguk ribut dalam pelukan sang Ayah, tangisnya masih tidak mampu terbendung. Jenan hanya memandang ayah dan kakaknya sendu, senyuman kecil terbit di wajahnya. Tidak menyangka jika, keluarganya ini rupanya mampu terakit ulang dengan lebih baik lagi.

Vano dan Harsa baru datang, berlarian menuju Jenan. Vano mengernyit melihat Juna menangis tersedu dalam pelukan sang Ayah, “Mas Juna kenapa?”

Jenan menyeka air matanya yang sedikit terbendung di sisi matanya, “Bang Mara udah sadar, kata ayah mau kemoterapi.”

“Allah itu emang ajaib banget ya, Nan?” ucap Vano sambil tersenyum sendu.

Jenan mengangguk antusias, “Hebat banget ya, No. Besok gue mau berdoa lagi, biar Bang Mara sembuh.”

Vano menyikut Jenan dengan senyuman manisnya, “Semoga membaik ya, Nan.”

“Harus, No. Harus membaik semuanya, termasuk Bang Mara.”

Abang, Jangan Menyerah

Insiden hidung Mara mimisan lagi rupanya membuat huru-hara antara Juna dan Harsa. Mara yang sudah hampir pingsan, malah disuguhi keributan Harsa dan Juna ketika dokter memeriksa. Juna yang sibuk menyalahkan Harsa karena cara bicaranya yang tidak sopan, sedangkan Harsa yang ikut kesal karena sedang panik.

Januar menengahi, keduanya itu harus dihentikan, sebelum membuat Mara benar-benar tidak sadarkan diri. Januar memberi jarak antara Juna dan Harsa, dengan memisahkan Juna di pojok ruangan dekat jendela, sedangkan Harsa di dekat pintu sambil bersandar tembok.

Nasal kanula yang kemarin dilepas, kini disarankan untuk kembali digunakan. Tenaga Mara juga rupanya sudah habis, dipakai terjaga sepanjang malam sejak kemarin. Namun, pemuda itu masih betah memandangi Juna dan Harsa bergantian, dengan wajah keduanya yang tidak enak.

Ditambah lagi dengan Aji, Ale, Jenan, dan Vano yang juga buru-buru sekali masuk ke ruang rawat. Ketika Juna meminta mereka berkumpul disana.

Mara mengulum senyum, di kala dirinya sudah begitu lemas, “Berantem mulu sih ....”

Januar sebenarnya baru saja dikejutkan dengan fakta baru, tentang penyakit yang diidap Mara. Januar menatap sendu pada Mara, “Kamu nggak pernah bilang sama ayah, soal—”

“Nggak papa, ayah. Mara nggak papa. Mara ini masih mampu bernafas sampai sekarang, masih bisa mendengar ayah ada di sisi Mara.”

Januar menarik Aji untuk dipangkunya, sekalian menggenggam jemari Mara, “Maafin ayah, nggak ngerti perasaan kalian selama ini. Maafin ayah yang maksain kalian, ayah yang salah.”

Mara tersenyum manis, kemudian melirik Aji, “Tapi anak ayah yang terakhir itu, benar-benar jago di bidang keinginan ayah.”

Januar menatap lembut ke arah Aji, sembari mengulum senyum, “Iya, Ji? Pelajaran apa yang kamu suka?”

Aji meletakkan telunjuk di dagu, seperti tengah berpikir keras, “Pelajaran kosong.”

Januar tertawa, jemarinya malah menggelitik perut Aji hingga anak itu tergelak keras. Aji meminta ampun, dan barulah Januar berhenti, “Jadi apa?”

“Ayah tidak tau nilai matematika Aji seratus terus? Ayah tidak tau kemarin Aji seleksi olimpiade?”

Senyum Januar memudar, “Maafin ayah ....”

Mara yang hanya bisa mendengarkan itu akhirnya mulai bersuara lagi, “Nggak, ayah. Kehadiran ayah disini sudah membuat semuanya bahagia. Jangan pernah sakitin adik-adik Mara lagi ya, yah?”

Januar menggenggam tangan Mara, “Maafin ayah juga yang buat kamu jauh dari adik-adikmu. Bukan cuman adik-adikmu, tapi kamu juga nggak boleh sakit, bang.”

Mara mengangguk pelan, “Mara nggak akan sakit, kalau adik-adik ataupun ayah butuhin Mara. Mara bisa ngelakuin segalanya, buat kalian, bunda juga.”

Januar menunduk, sambil menarik nafasnya berat. Ada banyak rahasia yang belum anak-anaknya tau tentang bagaimana sebenarnya ia bisa berpisah dengan sang Istri, Raline. Januar masih menatap betapa pucat wajah Mara malam ini, sekalipun Januar tau mungkin Mara kesakitan, anak itu bahkan tidak menunjukkan apapun.

Januar menatap setiap wajah sendu anak-anaknya, kecuali Harsa dan Juna yang masih saja ada raut sepat. Januar menghela nafasnya panjang, “Raline sudah lama tau perusahaan ayah hampir bangkrut, semenjak itu dia juga sudah lama selingkuh dengan laki-laki lain.”

Vano mengernyit, “Bunda ... pergi bukan karena Bang Mara lebih nurut sama ayah?”

Januar mengernyit bingung, “Kamu dapet gosip darimana?”

Sementara Juna yang tengah duduk di samping Vano, sontak menggeplak kepala anak itu, “Makanya jadi anak jangan sok tau, bahlul!”

Vano mendesis kesal menatap Juna, “Sakit, aish!”

Kernyitan di dahi Januar masih terlampau nyata, “Juna tau?”

Juna menatap Januar, wajahnya terlihat biasa saja tapi terlihat ingin mengungkap. Juna membuka mulutnya sedikit untuk mempersiapkan kata, “Juna dengar semua yang diributin ayah sama bunda malam itu, Juna juga tau Pak Tian yang kini menjadi kekasih baru bunda.”

Vano, Harsa, Aji, dan Ale tidak kalah terkejut dengan pemaparan Juna. Si Anak kedua itu menatap ke arah sang Ayah, “Bunda juga ketemu Juna sama Bang Mara waktu itu. Bunda yang rupanya begitu kejam ninggalin kita, bahkan bunda mau nampar Juna, meskipun yang kena tetap Bang Mara. Juna nggak tau kenapa keluarga kita udah kacau begini ....”

Mendengar kata kejam keluar dari mulut adiknya, Mara memaksakan daksanya untuk duduk tegak, hendak menghampiri Juna. Mengerti kesulitan Mara, Juna langsung berdiri mendekat, sedangkan matanya menatap nyalang pada sang Kakak. Juna itu kesal setiap Mara sok kuat, padahal Mara yang paling banyak menyimpan luka.

Mara tersenyum manis, “Keluarga kita masih indah banget, Jun. Udah, ya? Ayah mau kan perbaikin semuanya?”

Januar mengangguk, “Mau, bang. Jangan menyerah, ya?”

Nafas Mara sedikit berat, pandangannya mulai mengabur lagi. Semuanya memang sudah terlihat indah, namun dirinya malah begitu sulit menikmati setiap keindahan itu. Mara memejam perlahan, sakit di kepalanya tiba-tiba menghantam begitu kuat. Genggaman Mara pada Januar malah semakin mengendur, “Jangan lupa bahagia ya, ayah ...,” bisik Mara.

Juna mengernyit, sembari menggelengkan kepalanya tidak rela. Bunyi tidak karuan dari mesin elektrokardiograf mengganggunya, Juna ingin membentak, namun hatinya terlanjur kalut. “Abang!”

Harsa dan Vano inisiatif berlari keluar, tanpa perintah siapapun.

Januar mengelus-elus surai Mara, kala manik sang Empu telah memejam erat. Januar terus memanggil nama Mara, berharap agar si Sulung tidak pergi kemanapun. “Mara ... dengerin ayah, bukannya masih banyak cita-cita kamu yang belum tercapai? Ada ayah sekarang, bang. Ayah yang akan kembali menuntun kalian, kamu nggak akan berjuang sendiri lagi. Mara ... ayah rasa belum saatnya ....”

Manik Juna meneteskan air mata, memandang mesin pendeteksi jantungnya sudah hampir kehilangan detak jantung sang Kakak. Juna menggenggam kuat tangan lain milik Mara, “Abang ... gue sayang banget sama lo, dan lo pasti tau siapa aja yang bakal gue marahin kalo lo seenaknya ninggalin gue!”

Membela Mara di depan Ayah

Sudah berpuluh jam Mara habiskan untuk berada di ruang rawat yang dibiayai Juna ini, sedangkan Juna bahkan tidak pernah terlihat bekerja. Kenyataannya, Juna memang begitu kerjanya, santai tapi penghasilannya sudah sama dengan sekali biaya kemoterapi, walaupun belum pernah digunakan kemoterapi.

Suara Juna memang belum bisa menandingi diva-diva Indonesia yang spektakuler, karena jarang dilatih pula. Namun, warna suara Juna termasuk yang menjual, dengan tampangnya yang menarik. Maka, tidak heran jika setiap konten menyanyi Juna disukai kaum hawa, maupun adam.

Mara melihat Juna yang masih tidur di sofa dengan gaya mangap. Sedangkan, Ale dan Aji malah asik main bareng game online di kantin rumah sakit, sekalian mencari makan malam katanya. Mereka sedang libur sekolah, sebab ini adalah akhir semester pertama.

Mara tersenyum manis setiap adiknya masih bisa berbahagia hingga saat ini, ditambah Jenan yang juga masih senang memotret. Hasil karya Jenan yang diposting di media sosial juga tidak kalah dengan konten menyanyi Juna. Hanya saja, Mara mengatakan untuk menyimpan uang hasil kerja Jenan untuknya sendiri.

Tidak lama setelahnya, pintu ruang rawatnya tiba-tiba terbuka. Mara terdiam sejenak, menyadari yang datang adalah ayahnya sendiri. Senyuman Mara terbit begitu tulusnya, menyambut betapa berharganya pria itu dalam hidupnya.

“Ayah ... sehat kan? Mara takut lama tidak berinteraksi, Mara tidak tau kabar ayah.”

Januar mengulum senyumnya, anak pertamanya ini sangat manis rupanya, “Harusnya ayah yang tanya begitu, maaf ayah sampai membuat kepalamu diperban kayak gitu.”

Mara tertawa geli, “Biasa aja, Mara kan strong!”

Belum sempat Januar kembali membalas, ruang rawat dikunjungi seseorang lagi. Orang itu langsung saja membulatkan maniknya terkejut dengan kehadiran Januar di samping Mara. Bocah itu teriak tidak karuan, hingga mengejutkan Juna yang tengah tertidur, “Ayah mau ngapain?”

Juna yang masih setengah sadar, langsung berdiri dan menghalangi pandangan Januar untuk Mara, “Ayah mau ngapain? Ayah belum puas!”

Mara menarik bahu Juna, sampai infusnya tertarik lagi, darah Mara sedikit naik. Mara itu memang kalau reflek berlebihan, “Juna! Ayah cuman mau jelasin semuanya, lo jangan gegabah gini dong!”

Harsa yang tadi baru datang, langsung menatap bergantian ke arah Juna, Mara, dan sang Ayah. Harsa mengernyit, “Terus mau ngapain? Belum cukup ayah membandingkan kita semua! Anak-anak ayah nggak ada yang sempurna!”

Januar menghela nafasnya panjang, “Justru itu ... ayah mau minta maaf, atas semuanya. Maafin ayah, ya Harsa?”

Harsa terdiam. Benar-benar kehabisan kata untuk disuarakan. Harsa sudah lama merindukan ayahnya yang mampu bicara selembut ini, Harsa sungguh merindukan ayahnya yang dulu. Harsa ingin mendekap tubuh tegap itu, namun hatinya masih terlampau ragu.

Harsa menatap ke arah lain, hingga tak sengaja malah menangkap infus Mara, “Abang! Infusnya nyampur sama darah!”

Mara dan Juna langsung menoleh bersamaan. Hingga keduanya kembali dikejutkan dengan adanya aliran darah dari hidung Mara, “Astaghfirullah, abang! Itu hidungnya!” teriak Juna.

“Ayah! Ayah! Panggil dokter!” perintah Harsa, tidak tau diri.

“Harsa bego! Itu bapak lo!” gertak Juna.

Januar yang sudah sampai pintu, kembali lagi ketika Harsa menahan. Harsa menarik Januar kembali ke dekat Mara, “Ayah disini aja, Harsa aja. Astaghfirullah ... durhaka banget diriku ini.”

Kesayangan Abang

Suasana ricuh di rumah sakit ketika Mara pertama kali dilarikan sudah berlalu. Ketika dokter telah mengizinkan memindahkan Mara dari ICU, Juna meminta kamar rawat ternyaman untuk Mara, memang tidak bisa ditutupi dengan kartu jaminan sosial, tapi Juna yakin uangnya cukup untuk membiayai perawatan Mara. Uang bisa dicari, tapi Mara tidak ada lagi di dunia.

Juna menatap sendu pada Ale dan Aji yang telah tertidur di sofa rumah sakit. Kepala keduanya menyatu bagai saling menopang satu sama lain. Kemudian, maniknya kembali teralih pada Mara yang masih terpejam erat. Kepala Mara dibalut perban, bekas luka vas bunga yang lumayan menganga lebar tadi.

Suara pintu terbuka dan langkah yang tidak beraturan, dari belakang Juna, membuat pemuda itu tidak memperhatikan jika kedua manik Mara telah membuka perlahan. Juna mendengus kesal, melihat Harsa dan Vano datang tergesa-gesa, “Lo berdua tuh ngapain sih?”

Harsa malah tertegun, sembari menunjuk ke arah Mara. Juna langsung emosi melihat Harsa tidak jelas, tiba-tiba menunjuk, “Lo kenapa sih?”

Vano menepuk keras bahu Juna, “Bang Mara sadar, mas!”

Juna baru menoleh, sedangkan Vano menangkap tombol merah, langsung menekannya untuk memanggil dokter. Juna semakin mendekat ke wajah Mara, menatap lekat kepada wajah pucat kakaknya. Manik Juna tiba-tiba menitikkan air mata, “Abang ....”

Selang beberapa menit, alat pernafasan Mara juga telah diganti. Dokter mengatakan, kondisi Mara sudah membaik, masalahnya masih ada pada leukimia. Mara menatap Juna, sambil tersenyum, “Lo nggak papa ...?”

Juna mengangkat gelas yang ada di nakas, mukanya benar-benar sebal pada orang yang ada di hadapannya ini. Juna berdecak kesal, sembari mengembalikan gelasnya, “Aduh ... lo tuh kenapa kagak pinter-pinter sih? Lo nggak ngerasa pala lo dililit-lilit udah kayak pocong?”

Mara terkekeh pelan, “Yaudah kalo lo nggak papa, Jun.”

Harsa mencolek lengan Mara perlahan, “Abang ....”

“Hm?”

Harsa menunduk sambil memilin bajunya, “Maafin Harsa ....”

Mara mengernyit, “Lo salah apa?”

Harsa mendongak, dirinya menunduk sebab maniknya sudah mengeluarkan air mata rupanya, “Abang ....”

Mara mengusak lembut kepala Harsa, “Nanti abang cariin handphone yang lain ya?”

Harsa menggeleng ribut, kepalanya ditelungkup ke ranjang pesakitan Mara, “Nggak usah! Nanti Harsa pake yang itu aja ... abang nggak usah ganti! Harsa mau pake handphone yang itu aja!”

Mara tertawa dalam suasana sendu begini, “Maafin abang, kalau nggak bisa menuhin setiap kebutuhan kalian.”

Juna menghela nafasnya panjang, “Mulai sekarang, lo nggak usah maksain diri lagi ya, bang? Gue bisa menuhin kebutuhan adik-adik kok, bang.”

Mara mengernyit, kemudian menggeleng pelan, “Kalo kerjaan lo nanti dituntut buat menuhin kebutuhan, lo bakal kebebani, udah biasa aja, ya? Lo kerja sesuai yang lo mau, nggak harus dipaksain.”

Juna berdecak lagi, “Tapi itu yang selama ini lo lakuin!”

“Karena kalian emang tanggung jawab gue.”