Sia-sia, Namun Berharga
Kesulitan, bahkan kaki ini sampai terseok-seok. Bukan salah Ayara yang tidak mampu mengungkap, tapi memang lelaki itu terlanjur begitu dingin dan tak bisa menjadi pendengar. Mungkin, memang Ayara juga salah kala menunggu seseorang yang tidak pasti.
“Lo masih mau terus nunggu?” tanya Zainal, tangannya menggenggam kuat sebuah payung, yang terbuka lebar untuk Ayara.
Ayara terisak, “Terus mau bagaimana lagi? Bahkan, aku sudah sampai disini, dan yang dipilihnya adalah perempuan lain. Lalu kenapa dia harus meminta tolong, kalau akhirnya harus begitu buruk begini. Nal, gue bahkan nggak sanggup melangkah kemana pun.”
“Aya! Aris nggak sama sekali lihat lo! Lo juga salah kenapa mesti berharap dengan laki-laki yang jelas nggak bisa sama lo!”
Ayara berbalik, menatap Zainal dengan sengit. Perempuan itu sempat terkejut sebenarnya, sebab Zainal malah tidak memayungi dirinya sendiri, memilih melindungi Ayara. Namun, Ayara sudah terlanjur kesal, “Tapi dia sendiri yang minta gue kesini!”
Zainal menggenggam kuat sebelah bahu Ayara, tubuhnya maju selangkah mendekat, “Terus lo mau sampai kapan disini? Aris nggak akan pernah peduli sama lo, Ay! Lo juga harusnya sadar! Oke, kita emang udah jauh-jauh dari Jakarta ke Magelang, hanya karena email nggak jelas dari Aris. Sekarang lo lihat? Yang dia bawa untuk kelulusan adalah cewek lain!”
Ayara meremat tangannya begitu kuat, “Jadi ... lo daritadi keberatan nemenin gue sampai sejauh ini? Lagian gue nggak pernah minta, Nal. Lo yang maksa!”
Sedangkan, laki-laki di hadapannya mengusap wajahnya yang sudah basah kuyup kasar, “Ay ... nggak kayak gitu, gue tau lo pinter .... Tapi jangan bego soal cowok gini! Cukup si Aris aja yang bego lo-nya jangan ....” Zainal menarik nafasnya yang dirasakan agak berat, “Udah ya, Ay. Gue capek banget ....”
Entah sudah dari kapan, namun Ayara baru menangkap betapa pucat wajah laki-laki di depannya itu. Kemarahan gadis itu masih tersisa, apalagi pada Zainal yang tidak jelas ini. Zainal mengatakan akan menemani Ayara, tetapi ketika sudah begini malah lelaki itu yang marah-marah.
Ayara malah memaksa menunggu di lapangan tempat kelulusan Aris, bahkan ketika sudah hujan deras begini, Ayara masih tetap berdiri tegak. Meski pada kenyataannya, Aris sudah lupa soal permintaannya, untuk menemaninya pada kelulusan di sebuah sekolah perwira. Ayara sudah datang, namun perempuan lain lebih dulu berada di samping Aris.
Perempuan itu menunduk padam, kemudian tak sengaja memandang tas kecil yang dia bawa kemari. Ayara mengingat sesuatu yang menyebabkan dirinya repot sampai membawa tas kecil segala, bukan hal yang penting untuknya, tapi penting untuk lelaki di hadapannya.
“Nal ....” Ayara melirih, pandangannya masih menunduk.
Zainal tidak merespon.
“Zainal ... lo belom minum obat.”
Ayara segera mendongak menatap teman lelakinya itu. Betapa terkejutnya ia, memandang Zainal yang tengah sibuk dengan hidungnya. Zainal mimisan, sedangkan lelaki itu sudah kewalahan kala darahnya tidak mau berhenti. Ayara segera mengambil alih payung yang dibawa Zainal, menuntun Zainal meneduh di pinggir lapangan.
“Nal ... Nal, lo nggak papa?” Ayara mengambil beberapa lembar tisu, untuk membantu Zainal menghapus darahnya.
Tubuh Zainal melemas, lelaki itu bersandar merebah bersandar di dinding tempat berteduh. Tangis Ayara malah semakin pecah, “Maafin gue ..., kepala lo sakit, ya?”
Kedua manik Zainal sudah meredup, begitu sayu dan berbayang untuk sekadar melihat ke depan. Cowok dua puluh tahun itu menarik nafasnya panjang, “Udah ... nggak papa, Ay. Gue nggak papa.”
Ayara menggenggam jemari temannya, “Tetep aja, gue minta maaf! Tunggu, jangan tidur ya, Nal. Gue telepon ambulans.”
Sejak sepuluh tahun yang lalu, Ayara dan Zainal ini sama sekali tidak pernah memiliki hubungan spesial. Keduanya memang dekat sebagai sepasang teman, namun mereka punya jalannya sendiri-sendiri. Ayara dengan dunianya di kimia, dan Zainal dengan dunianya di arsitektur. Usia yang terpaut setahun, juga tidak menyulitkan keduanya untuk akrab.
Orang tua Ayara menitipkan anak gadisnya pada Zainal ketika perjalanan menuju Magelang. Salah memang, karena itu menjadikan patah hati terbesar untuk Zainal, menghantarkan Ayara pada laki-laki yang dicintainya. Sayangnya, Ayara salah. Aris, laki-laki itu bahkan lebih menyukai wanita lain, ketimbang dirinya yang bukan siapa-siapa.
Malam sudah semakin larut, namun Zainal seakan belum mau membuka maniknya. Ayara masih disana menggenggam erat jemari Zainal, sejak keduanya mendapatkan kamar rawat. Ayara tersenyum sendu, rasanya dirinya ingin mengakui kebodohannya pada Zainal untuk hari ini.
“Ay ...,” lirih Zainal.
Ayara menatap lekat manik Zainal yang baru membuka, “Nal ....”
Zainal terkekeh pelan, “Aduh ... gue lemah baget ya? Hujan-hujanan dikit aja, udah tumbang gini.”
Ayara berdecak, “Lo yang bego, lo nemenin gue sampe kayak gini ....”
Zainal tersenyum manis, “Biarin deh gue bego, asalkan bisa nemenin lo, Ay. Sebelum gue udah nggak bisa lagi.”
“Emangnya gue sespesial itu buat lo? Kita kan cuman temen, Nal. Hari ini lo malah nemenin gue nyamperin si brengsek Aris.”
Senyuman Zainal masih begitu dalam untuk Ayara, “Karena gue punya tanggung jawab buat jagain lo, Ay. Papa gue bilang, gue adalah satu-satunya laki-laki yang harus nikahin lo.”
“Nal ..., tapi baru aja lo—”
“Iya, baru aja gue nemenin lo untuk cowok lain. Meskipun ternyata gagal. Ay, gue sakit, gue nggak bakal bisa bahagiain lo. Jadi, gue milih nyerah buat milikin lo. Gue ngelakuin semua yang lo mau, sebelum gue nggak lagi sempat.”
Air mata Ayara menitik perlahan, “Zainal ... gue minta maaf.”
Zainal masih tersenyum manis sekali, “Lo nggak salah, udah ya nangisnya? Nanti cantiknya luntur, Ay ....”
“Nal ... nggak gitu.”
“Gue sayang sama lo, Ay .... Sayang banget, sampe bego“
Ayara tertawa, dengan sisa air matanya, “Maafin gue dulu, Zainal. Nanti baru gue terima pernyataan cinta lo.”
“Kan lo nggak salah, Ay.” Zainal masih betah dengan senyuman manis di bibir pucatnya itu.